![]() | |
Ilustrasi |
“SEBAB MENCINTAI TANAH AIR, NAK, ADALAH MERASA JADI BAGIAN DARI SEBUAH negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa yang lain, selain dari yang satu ini, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati”
Kepasrahan, kecintaan, dan kebanggaan akan Tanah Air saya dapat dari catatan
pinggir Goenawan Moehammad.
Ada banyak peristiwa di negeri ini yang terkadang membuat nyali ciut. Nasib
sebagian besar anak bangsa terpinggirkan, tergerus oleh kelompok kapitalis borjuis,
konon katanya sebagai warga negara kelas satu, pembayar pajak terbesar, pemberi
pengaruh kebijakan paling dahsyat. Saya tak begitu paham, negeri yang teramat
luas, bangsa lain menjuluki sebagai negeri agraris, negeri bahari, atau sebutan
lain yang bisa bikin penghuninya besar kepala, harus terjebak dalam konfrontasi
antara pekerja dan pengusaha. Belakangan baru saya sadar, di negeri ini
ternyata lebih mentereng gelar “buruh” ketimbang “petani” atau “nelayan”.
Barangkali karena alasan praktis saja. Kota besar adalah satu-satunya tempat
yang menjanjikan kehidupan dan penghidupan lebih baik dibanding desa. Di sini
semua ada, tak apa-apa jika harus bekerja pada cukong dengan bayaran rendah,
status kontrak, minim jaminan kesehatan, tanpa jaminan hari tua, toh suatu
waktu nanti akan kembali lagi ke desa.
Nyata di kemudian hari, kebesaran hati menerima kekejaman kota besar di awal
tak lagi diterima akal dan nurani. Kebutuhan hidup kian hari kian besar,
harga-harga mahal, pendapatan tak lagi cukup, tak ada lagi jalan keluar kecuali
menuntut kenaikan pendapatan kepada sang cukong. Namun sang cukong lebih pintar
berkelindan dengan pelbagai alasan, berani membeli eksekutif, kemudian
legislatif, memesan aturan-aturan yang dapat menguntungkan dan membesarkan sumber
pendapatannya.
Buruh bergeming, tak mau kalah. Demonstrasi, menyusun kekuatan, barangkali
dengan jumlah lebih banyak, skala yang besar, dihitung dalam satuan ribu atau
bahkan ratusan ribu akan mampu menggetarkan nyali sang cukong.
Dan, tanpa disadari mereka telah menghambat laju perekonomian yang sedang
digerakkan oleh orang-orang di luar lingkaran, jalanan macet, efektivitas kerja
lumpuh, pendapatan para saudagar menurun drastis di hari berlangsungnya
demonstrasi.
Pada saat itulah kita menjadi gamang, ciut, tak tahu arah mencari pelindung.
Pemerintah panik, negara menghilang entah ke mana. Intel-intel menaruh curiga
pada orang-orang yang dianggap aktor lapangan, syak wasangka berseliweran di
media, dan rakyat menjadi penonton sembari berdoa “TUHAN, SELAMATKAN NEGERI
KAMI DARI KEHANCURAN”
>> Salam paniang dari Jawa
Cukup provokatif jika membaca hanya terpaku pada postingan ini.. Saran, tinjau Dari berbagai dimensi agar bebas dari unsur subjektif.. Laron biasanya suka mengejar lampu sedangkan kunang2 tetap bertahan ditempat gelap sekalipun, dengan memberikan cahaya disekitarnya.. Tinggal kita memilih Jadi Laron atau kunang2....
BalasHapusTerima kasih, mas bro. Saran sangat mendukung untuk perbaikan pada tulisan selanjutnya. Saya baru belajar jadi "blogger" sekaligus belajar menulis. Mohon saran, blog siapa saja yang pantas untuk diikuti sebagai bahan bacaan. Salam kenal
BalasHapus