Pengikut

Senin, 30 April 2012

May Day "Agiah Taruih"


Ilustrasi

“SEBAB MENCINTAI TANAH AIR, NAK, ADALAH MERASA JADI BAGIAN DARI SEBUAH negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat, dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari, bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa yang lain, selain dari yang satu ini, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati”
Kepasrahan, kecintaan, dan kebanggaan akan Tanah Air saya dapat dari catatan pinggir Goenawan Moehammad.

Ada banyak peristiwa di negeri ini yang terkadang membuat nyali ciut. Nasib sebagian besar anak bangsa terpinggirkan, tergerus oleh kelompok kapitalis borjuis, konon katanya sebagai warga negara kelas satu, pembayar pajak terbesar, pemberi pengaruh kebijakan paling dahsyat. Saya tak begitu paham, negeri yang teramat luas, bangsa lain menjuluki sebagai negeri agraris, negeri bahari, atau sebutan lain yang bisa bikin penghuninya besar kepala, harus terjebak dalam konfrontasi antara pekerja dan pengusaha. Belakangan baru saya sadar, di negeri ini ternyata lebih mentereng gelar “buruh” ketimbang “petani” atau “nelayan”.

Barangkali karena alasan praktis saja. Kota besar adalah satu-satunya tempat yang menjanjikan kehidupan dan penghidupan lebih baik dibanding desa. Di sini semua ada, tak apa-apa jika harus bekerja pada cukong dengan bayaran rendah, status kontrak, minim jaminan kesehatan, tanpa jaminan hari tua, toh suatu waktu nanti akan kembali lagi ke desa.

Nyata di kemudian hari, kebesaran hati menerima kekejaman kota besar di awal tak lagi diterima akal dan nurani. Kebutuhan hidup kian hari kian besar, harga-harga mahal, pendapatan tak lagi cukup, tak ada lagi jalan keluar kecuali menuntut kenaikan pendapatan kepada sang cukong. Namun sang cukong lebih pintar berkelindan dengan pelbagai alasan, berani membeli eksekutif, kemudian legislatif, memesan aturan-aturan yang dapat menguntungkan dan membesarkan sumber pendapatannya.

Buruh bergeming, tak mau kalah. Demonstrasi, menyusun kekuatan, barangkali dengan jumlah lebih banyak, skala yang besar, dihitung dalam satuan ribu atau bahkan ratusan ribu akan mampu menggetarkan nyali sang cukong.

Dan, tanpa disadari mereka telah menghambat laju perekonomian yang sedang digerakkan oleh orang-orang di luar lingkaran, jalanan macet, efektivitas kerja lumpuh, pendapatan para saudagar menurun drastis di hari berlangsungnya demonstrasi.

Pada saat itulah kita menjadi gamang, ciut, tak tahu arah mencari pelindung. Pemerintah panik, negara menghilang entah ke mana. Intel-intel menaruh curiga pada orang-orang yang dianggap aktor lapangan, syak wasangka berseliweran di media, dan rakyat menjadi penonton sembari berdoa “TUHAN, SELAMATKAN NEGERI KAMI DARI KEHANCURAN”


>> Salam paniang dari Jawa

Minggu, 29 April 2012

Uang Rokok "Agiah Taruih"

Ilustrasi


SYAHDAN, DI SEBUAH “NEGERI ANTAH BERANTAH” AMAT TERSOHOR, NAMUN PARADOKS; tanahnya sangat subur lagi makmur tapi masyarakatnya banyak yang melarat. Pengabdi masyarakat hidup dengan penghasilan terbatas. Prajurit pembela Negeri-pun katanya dibayar dengan rendah. Alhasil, para prajurit berusaha mencari penghasilan tambahan dengan mengorbankan profesionalisme. Salah satu kelompok yang menjadi bulan-bulanan Sang Prajurit diidentifikasi dengan istilah distribusi “A” (A Kwok, A Lung, A Chai, A Tseng, dan banyak “A” lainnya)

Suatu hari, Sang Prajurit berkunjung ke sebuah toko di daerah Pecinan, sebut saja toko milik A Tseng;

Prajurit : “Koh, gimana jualan hari ini, rame ga?” (Mengawali pembicaraan dengan basa basi)

A Tseng : “Haiyyaa, lumayan, Pak. Owe hali ini dapak untung besa ha” (Dengan logat Glodok yang kental)

Prajurit : “Saya mau minta bantuan nih, Koh!”

A Tseng : “Haiyya, Owe bisa bantu apa?” (Sudah mulai harap-harap cemas)

Prajurit : “Saya minta uang rokok”

A Tseng : “Haiyya, gimana kalo Owe kasih lokok saja?” (lokok = rokok)

Prajurit : “Mentahnya aja, Koh, soalnya buat bagi-bagi di kantor” (Mentahnya = uang)

A Tseng : “Okeh okeh, nih!” (Sembari menyodorkan uang)

Prajurit : “Terima kasih, Koh. Sekalian rokoknya saya bawa ya?” (Mengambil uang + rokok, kemudian berlalu pergi)

A Tseng : “Haiyyaaaa, lugi owe… Lebalan minta THL, Natal minta THL, Nyepi minta THL, sebetulnya Plajulit agamanya apa sih? Mintanya uang lokok, dikasih lokok tidak mau, dikasih uang, lokok juga diambil… Haiyyaaa, amsiong Owe……. (Sambil tepok jidat) *THL = THR-Tunjangan Hari Raya



>> Salam paniang dari Jawa

Sabtu, 28 April 2012

Cita-Cita "Agiah Taruih"

Ilustrasi


PAS MENJELANG AKHIR TAHUN KELULUSAN SEKOLAH, SETIAP SISWA KELAS 3 SLTA (tingkat XII) mengalami ke”galau”an luar biasa. Satu sisi harus mencurahkan segala daya otak untuk menghadapi Ujian Nasional (UN). Di sisi lain, siswa dihadapkan pada lembaran baru kehidupan bernama “masa depan” bagaimana dan apa yang hendak diperbuat?. Satu langkah yang tepat akan mengantarkan menuju singgasana kesuksesan. Namun, satu gerakan yang salah akan menyebabkan encok si Bapak kambuh setiap hari karena harus membanting tulang memeras otak demi anak yang tak jelas juntrungannya. Kemampuan bahasa verbal Si Ibu-pun meningkat, bukan saja tata bahasanya, intonasinya juga (Woi yuang, jago lah lai! Lalok ka lalok se karajo ang – dengan nada dasar “B” alias BERANG). Wajar saja, siswa dan orang tua siswa, semua bergalau ria menyambut penghujung masa sekolah.



Bagi orang tua yang pondasi ekonomi-nya kuat nyaris tak ada masalah yang berarti dalam menghadapi masa akhir sekolah. Si anak boleh pilih ingin melanjutkan pendidikan seperti apa dan di mana saja. Beruntung pula buat orang tua yang punya anak cerdas dengan segudang prestasi mentereng, tentunya bisa memilih sekolah-sekolah yang bersifat ikatan dinas dari institusi pemerintah maupun BUMN/swasta terkenal.



Namun, bagaimana dengan yang serba “pas-pasan”? (Ekonomi pas, otak pas, prestasi pas). Sepertinya kelompok “pas-pasan” ini dihadapkan pada pilihan sulit; - Melanjutkan pendidikan anak sampai ke Perguruan Tinggi rasanya terlalu berat dari segi ekonomi, iya kalau kuliah-nya benar, kalau tidak? “Minyak abih samba tak lamak” (uang habis, studi-pun tak selesai). – Menyarankan anak agar ikut seleksi PNS/TNI/POLRI. Waduh! Sepertinya poin ini yang paling berat karena selentingan kabar di negeri ini untuk menjadi PNS/TNI/POLRI kita harus merogoh kocek dalam-dalam (ndak takao di Amak doh, yuang). Dan, ini poin yang geli-geli nikmat;



MERANTAU
Tidak jelas kapan istilah “merantau” pertama kali dipopulerkan, karena pada kenyataannya perilaku berpindah tempat untuk mencari penghidupan yang baik sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW, terlepas apakah ada persamaan arti kata antara “merantau” dengan “hijrah”, yang jelas bagi saya keduanya memiliki kesamaan pemahaman.


Ilustrasi: Jakarta merupakan salah satu kota tujuan perantau terfavorit



Banyak orang dari berbagai suku atau etnis yang merantau, di antaranya kaum pria Minangkabau saat menginjak kategori usia dewasa muda (20-30 tahun). Pergi merantau hampir merupakan suatu kewajiban, apalagi bila si pria masih belum mampu secara finansial untuk memenuhi tanggung jawab keluarga, sementara ia telah berada dalam rentang usia siap menikah. Namun belakangan hari kebiasaan merantau juga dilakukan oleh kaum wanita. (Saat ini, daerah rantau tak hanya bersifat domestik saja namun mencakup juga wilayah mancanegara)



Untuk pergi merantau yang paling dibutuhkan adalah tekad dan keberanian untuk mencari penghidupan di negeri orang. Kerja keras adalah kata kunci agar bisa bertahan di rantau. Pada bagian mana yang saya maksud merantau bisa membuat anda “geli-geli nikmat”?
-          Pada awal masa merantau situasi jauh dari orang tua dan keluarga inti akan menimbulkan paradoks; ruang kebebasan maksimal namun ruang perut minimal. Anda tak perlu lagi mendengar ocehan Amak setiap pagi, atau perintah Abak sekedar mencari rumput untuk pakan ternak. Tapi ingat, karena keterbatasan uang, jatah makan turun drastis, badan kurus, dan anda akan menjadi sumber pendapatan utama produsen teh karena (saya jamin) setiap hari anda akan minum teh manis hangat sebagai penghilang rasa lapar.
-          Bertemu banyak orang dari lain etnis dan suku akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan anda tentang budaya bangsa yang majemuk. Namun bersiap-siaplah jauh dari kampung halaman jika sudah kepincut cinta kepada orang dari lain etnis.
-          Buat yang selalu fokus pada tujuan utama merantau (tentunya dengan beraneka macam target) seperti melanjutkan studi, bersabarlah! Cepat atau lambat anda akan mendapatkannya (Tuhan selalu punya cara untuk mengabulkan doa anda). Celakanya, buat yang fokus-nya berubah-ubah (labil: biasanya karena salah pergaulan, terjebak dalam arus modernisasi) bersiaplah untuk melalui tahapan tersulit hidup karena suatu saat anda akan terpaksa balik kandang, kembali membajak sawah, mencari rumput, atau jadi “agen oto”.
-          Anda yang mampu merenung, serta mampu menggali potensi diri dengan sedikit kreatifitas hanya butuh menunggu selangkah lagi maka cita-cita akan anda dapatkan sukses-pun menghadang di depan. Bagi yang kurang memenuhi semua persyaratan tadi bersiaplah jadi “lebah pekerja” seumur hidup.
-          Nasib baik; semua dapat terwujud jika nasib baik dan peruntungan bermurah hati singgah dalam kehidupan anda




Setiap usaha dan kerja keras tentunya akan lebih indah jika diiringi dengan doa dan kepasrahan diri kepada Tuhan. Selamat merantau dan semoga sukses mengejar cita-cita.





>> Salam paniang dari Jawa

Jumat, 27 April 2012

Perumpamaan "Agiah Taruih"

Ilustrasi: Pasukan Imam Bonjol di Minangkabau
PERUMPAMAAN ADALAH SEBUAH FILOSOFI, IA MENJADI BAGIAN PENTING SENI SASTRA VERBAL masyarakat Minang dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Orang Minang selalu belajar dari lingkungan, sesuai dengan konsep "alam takambang jadi guru".

1. Angek tadah daripado cangkie
(Berlagak kaya dengan harta orang lain/majikan)

2. Lah nyato si pontong tak bajari, cincin ameh baparagokan
(Menyombongkan kekayaan kepada orang yang melarat)

3. Urang lah mati indak makan, rimah disapu ka halaman
(Tabiat yang menunjukkan kesombongan, suka berfoya-foya sementara orang di sekitar  tengah dalam kesusahan)

4. Manyerakkan garam ka lauik
(Pekerjaan yang sia-sia)

5. Kecek harimau bagaluik-galuik, kato kambiang iko lah nyato pambunuahan
(Bagi seseorang apa yang sedang/telah dilakukannya hanya permainan belaka, sementara bagi pihak yang lain menanggapinya dengan keseriusan dan kejujuran. Biasanya diidentikkan dengan hubungan laki laki dan perempuan; laki-laki yang senang mempermainkan perasaan perempuan)

6. Bak kain dimakan nyangek, lipek patahnyo tak barubah, dikambang nyanyai tiok ragi
(Lidah lebih tajam daripada pisau. Apabila lidah yang melukai, lukanya memang tidak berkesan, namun di dalam perihnya bukan main, bahkan dapat memunculkan dendam)

7. Tabali lado pagi
(Terburu buru dalam mengambil keputusan yang akhirnya berbuah kekecewaan. *Biasanya lado "cabe" yang dijual saat pagi hari, harganya jauh lebih mahal karena belum banyak pedagang yang datang. Saat siang menjelang, harga cabe bisa lebih murah dikarenakan telah ramai pedagang yang datang ke pasar)

8. Minyak abih samba tak lamak
(Modal besar tapi tak dibarengi dengan keuntungan yang memuaskan karena tidak berusaha dengan maksimal)

9. Batanam tabu di bibie
(Pandai merayu, bermulut manis, tapi tak mampu menepati/membuktikan apa yang telah diucapkan/dijanjikan)

10. Papek di lua pancuang di dalam
(Perkataan yang keluar dari mulut sangat sopan, manis. Akan tetapi di dalam hati memiliki rencana yang busuk)

11. Tasipak kampie Sulaiman
(Mendapat rejeki nomplok. Diibaratkan dengan kampie "tempat menaruh sesuatu barang" kepunyaan Nabi Sulaiman yang amat kaya, dengan secara tiba tiba tidak sengaja menemukannya)

12. Umpamo marauik rauik buluah, kok lai rancak dijadikan katangkai sabik
(Suatu pekerjaan yang dilakukan secara acak tanpa niat dan tujuan, tapi berharap akan hasil yang baik. Bagaimana mungkin buluah "bambu" yang diraut bisa menjadi tangkai sabik "arit"? - Tentu akan mudah pecah)

13. Santano awak buruang pipik, ulek daun ka jatah awak, buah rumpuik bateh rasaki. Usah dicito makanan anggang! Sansai badan kasudahannyo
(Mengukur diri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki)

14. Maambiak tuah ka nan manang, maambiak contoh ka nan sudah
(Belajar dari pengalaman)

15. Alu tataruang patah tigo, samuik tapijak indak mati
(Bijaksana, pandai mengambil keputusan dengan baik dan benar sehingga dapat menyenangkan banyak pihak)

16. Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo
(Orang sering terperdaya oleh mulut manis dan budi bahasa yang baik)

17. Jangek suriah kuliklah luko, namun lenggok baitu juo
(Seseorang yang tidak tahu diri walaupun dia telah jatuh hina karena perbuatannya, tetapi dia tetap membanggakan diri)

18. Sambie manyilam minum aie, sadang badiang nasi masak 

(Sesuatu pekerjaan yang dapat dikerjakan sambil lalu, dengan tidak mengurangi kepada pekerjaan yang sedang dilakukan)

19. Jauah bajalan banyak diliek, lamo hiduik banyak diraso
(Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak pengalaman)

20. Kilek baliuang lah ka kaki, kilek camin lah ka muko
(Suatu perbuatan dan perkataan yang telah difahami maksud dan tujuannya)

21. Sakali marangkuah dayuang duo tigo pulau talampaui, sakali mambuka puro duo tigo utang tabayie
(Beberapa urusan yang dilakukan dalam waktu bersamaan)

22. Pai tampak pungguang, pulang tampak muko
(Kalau pergi hendaklah memberi tahu, jika kembali hendaklah memberi kabar)

23. Nan barek samo dipikua, nan ringan samo dijinjiang
(Di dalam adat selalu dianjurkan agar setiap pekerjaan yang baik dikerjakan secara bersama)

24. Tinggi lonjak gadang galapuah, nan lago di bawah sajo
(Sifat seseorang yang senantiasa segala pandai di hadapan orang yang tak tahu, tetapi sebenarnya kosong belaka)

25. Kalau balaie banahkodo, jikok bajalan jo nan tuo
(Mengerjakan suatu pekerjaan hendaklah didampingi ahlinya)

26. Tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanyuik
(Suatu persoalan yang tidak diselesaikan duduk perkaranya, serta pelaksanaan pun dilalaikan)

27. Basuluah matohari, bagalanggang mato rang banyak
(Suatu persoalan yang sudah diketahui oleh orang banyak; bukan rahasia lagi)

28. Kabuik tarang hujanlah taduah, nan hilang patuik dicari
(Saat suasana telah baik, keadaan telah pulih, sudah waktunya menyempurnakan kehidupan)

29. Aie diminum raso duri, nasi dimakan raso sakam
(Seseorang yang sedang menanggung penderitaan bathin)

30. Bariak tando tak dalam, bakucak tando tak panuah
(Seseorang yang mengaku dirinya pandai, tetapi yang terjadi malah sebaliknya)

31. Cando caciang kapanehan, umpamo lipeh tapanggang
(Orang yang tidak mempunyai sifat tenang, selalu berkeluh kesah dan terburu buru dalam mengerjakan sesuatu)

32. Buruak muko camin dibalah
(Orang yang membuat kesalahan karena kebodohannya, tetapi yang disalahkan justru orang lain)

33. Bangieh ka mancik, rangkiang disuliangkan
(Marah kepada satu orang tetapi semua orang dimusuhi)

34. Cando ayam manampak alang, umpamo kuciang dibaokkan lidi
(Orang yang sangat ketakutan, apalagi ia mengetahui tentang kesalahan yang diperbuatnya)

35. Cando si bisu barasian, takana lai takatokan indak
(Orang yang tidak sanggup menyebut dan mengemukakan kebenaran, karena mempunyai keragu-raguan dalam pengetahuan yang dimiliki)

36. Bak lonjak labu dibanam, umpamo kacang diabuih ciek
(Orang yang bergirang hati secara berlebih-lebihan. Biasanya diidentikkan dengan kesombongan/keangkuhan karena mendapatkan/memenangkan sesuatu sehingga membuat orang sekitarnya terbakar emosi)

37. Bak basangai di abu dingin, bak batanak di tungku duo
(Suatu pekerjaan yang sia-sia dan kurang mempunyai perhitungan)

38. Bak maeto kain saruang, bak maetong kasiak di pantai
(Suatu persoalan yang tidak jelas ujung pangkalnya)

39. Baban barek singguluang batu
(Pekerjaan yang amat sangat berat)

40. Cando aie jatuah ka tanah, bak batu jatuah ka lubuak
(Pergi tak ada kabar berita lagi, hanyut ditelan bumi)

41. Sahari bagi singo, satahun raso di kambiang
(Bagi orang yang mampu secara moril/materil mungkin nilainya tidak seberapa. Namun bagi yang kurang mampu sangat terasa betapa sulit mendapatkannya)

42. Bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah madok suruik
(Setiap yang akan dikatakan hendaklah dipikirkan lebih dahulu, sehingga perkataan itu tidak menyinggung orang lain)

43. Bajalan paliharo kaki, maliek paliharo mato
(Berhati-hatilah terhadap suatu urusan yang akan dikerjakan. Jangan sampai merugikan orang lain)

44. Camin nan indak namuah kabua, palito nan indak kunjuang padam
(Ajaran Adat/Syarak di Minangkabau bagaimanapun tetap akan menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakatnya)

45. Adaik rang mudo manangguang rindu, adaik di nan tuo manangguang ragam
(Anak muda tentunya sangat menaruh keinginan yang besar terhadap sesuatu hal. Sementara kaum tua tidaklah pantas jika masih menaruh keinginan yang muluk-muluk layaknya anak muda)

46. Cadiak jan baambuang kawan, gapuak usah mambuang lamak, tukang nan tidak mambuang kayu
(Dalam pergaulan hendaklah bisa memberdayakan semua orang. Jangan bertindak sendiri, walaupun cukup mempunyai kecerdasan)

47. Condong jan kamari rabah, luruih manantang barih adat
(Dalam pergaulan hendaklah mempunyai pendirian yang kokoh, dan selalu di jalan yang benar)

48. Capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan bukan pamacah
(Sifat orang muda yang sangat dihargai, dipuji, dan disegani, yakni tangkas dan kesatria tetapi tidak melampaui kesopanan)

49. Cadiak malam binguang siang, gilo maukia kayu tagak
(Orang yang panjang angan-angan, tetapi satupun tak mampu dikerjakannya, rencana tinggal rencana)

50. Cancang tadadek jadi ukia
(Suatu pekerjaan tadinya salah dalam pengerjaan, namun karena keahliannya dapat menjadi baik)

51. Caliak anak pandang minantu, mato condoang ka nan elok, lidah condoang ka nan lamak
(Orang tua hendaklah mencari menantu yang sesuai dan pantas dengan anaknya)

52. Cindua takacau hari hujan
(Rencana yang telah disusun tak dapat dijalankan karena terhambat oleh sesuatu dan lain hal yang di luar perhitungan semula)

53. Abih sandiang dek bagesoh, abih miyang dek bagisia
(Pergaulan bebas antara muda dan mudi, akan menghilangkan rasa malu antara dua insan yang berlainan jenis)

54. Gadang tungkuih tak barisi, tungkuih elok pangabek kurang
(Orang yang sudah dewasa/tua mengenai usia, namun tak dibarengi dengan kecerdikkan/kecerdasan/kedewasaan dalam cara fikir)

55. Kuriak induaknyo rintiak anaknyo
(Apa yang menjadi sifat, tabiat, dan rupa seseorang hakikatnya adalah membawa genetika dari kedua orang tuanya)

56. Lauik sati, rantau batuah
(Adalah sebuah filosofi hidup, bahwasanya di manapun berada hendaknya pandai membawa diri agar mendapat keselamatan)

57. Nan tuo dihormati, nan ketek disayangi, samo gadang baok bakawan
(Begitu adab dalam pergaulan, hormati orang yang lebih tua usianya, rangkul mereka yang lebih muda, saling menghargai dengan teman sebaya)

58. Ka bukik samo mandaki ka lurah samo manurun
(Suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama dengan semangat gotong royong)

59. Katiko taimpik nak di ateh, katiko takuruang nak di lua, bajalan baduo nak di tangah bajalan surang nak dahulu
(Pepatah ini memiliki makna negatif, adalah kebalikan dari perumpamaan no. 58. Biasanya menggambarkan sifat seseorang yang mencari kesenangan dan keuntungan diri sendiri)

60. Kuaik katam karano tumpu, kuaik sapik karano takan
(Suatu pekerjaan yang dikerjakan karena terpaksa, bukan karena kesadaran)

61. Indak kayu janjang dikapiang, indak lalu dandang di aie, di gurun ditanjakkan juo
(Tidak hilang akal, apapun halangan dan rintangannya maksud dan tujuan harus tercapai)

62. Tak baban batu digaleh, umua abih jaso indak ado
(Seseorang yang melakukan pekerjaan yang tidak mendatangkan hasil)

63. Dek rancak kilek loyang, intan disangko kilek kaco
(Sifat manusia selalu menilai apa yang ada di lahir saja. Sedangkan kebaikan/kesahajaan hakikatnya ada dalam diri seseorang. Manusia sering tertipu dengan pandangan mata lahir)

64. Umpamo jawi balang puntuang, didulukan inyo manyipak, dikamudiankan inyo mananduak
(Sifat yang tidak baik, mau menang sendiri, pantang memikirkan orang lain)

65. Ula lalok nan usah dijagokan, aie nan tanang usah dikaruahi
(Jangan melakukan hal-hal yang bisa merusak keadaan dan ketenangan hidup bermasyarakat)

66. Tarambau diimpik janjang, lah seso sansaro tibo
(Seseorang yang mendapat musibah bertubi-tubi)

67. Rumah tampak, jalan ndak tantu
(Biasanya diidentikkan dengan orang yang berada di perantauan. Terbesit keinginan hendak pulang ke kampung halaman, namun terkendala oleh sesuatu seperti biaya, waktu, dan hal lainnya. Orang minang biasa berolok-olok dengan menyebut mereka sebagai "orang tergadai")

68. Disangko labo nan dapek, kironyo pokok nan tamakan
(Berharap mendapat untung, ternyata kerugian yang didera)

69. Nan sakik iyolah kato, nan padiah iyolah rundiang. Dek tajam nampak nan luko, dek kato hati taguntiang
(Perkataan yang menyakiti lebih berbahaya dari pisau yang tajam)

70. Nak tahu digadang kayu caliak ka pangkanyo, nak tahu digadang ombak caliak ka pasienyo
(Jika ingin mengetahui suatu hal, lihat dan pelajari secara seksama)

71. Kok makan abih-abih, manyuruak hilang-hilang
(Jika melakukan suatu pekerjaan hendaklah sampai tuntas)

72. Kalau kaie panjang sajangka, lauik dalam usah didugo
(Kalau pengetahuan baru seujung kuku jangan coba-coba mengurus pekerjaan yang lebih besar)

73. Di baliak pandakian ado panurunan, di baliak panurunan ado pandakian
(Di balik kesusahan ada kemudahan, di balik penderitaan ada kesenangan)

74. Diagak mangko diagiah, dibaliak mangko dibalah
(Setiap pekerjaan yang akan dikerjakan hendaklah dipikirkan matang-matang. Buatlah rencana kerja yang baik)

75. Elok baso tak katuju, baiak baso tak manantu
(Seseorang yang senang dengan pergaulan, namun terlalu royal dalam berteman sehingga menyulitkan diri sendiri)

76. Elok bak karabang talua itiak, elok bana nyo tabuang juo
(Orang pandai dan cerdas, namun tidak mempergunakan kepandaian dan kecerdasannya untuk kepentingan orang banyak)

77. Elok tungkuih tak barisi, gadang agak tak manyampai
(Seseorang yang lagaknya seperti orang pandai, namun tak satupun pekerjaan yang berhasil diselesaikan)

78. Elok nagari dek panghulu, elok tapian dek nan mudo, elok musajik dek tuanku, elok rumah dek bundo kanduang
(Keelokkan suatu negeri karena pemimpin yang bijaksana, masyarakat yang agamis, dan kaum wanita yang pandai menjaga martabatnya)

79. Gadih panagak ateh janjang, gadih pancaliak bayang-bayang
(Larangan bagi seorang anak gadis di Minangkabau agar tidak berdiri di pintu. Sebetulnya pesan ini memiliki arti bahwa jika seseorang berdiri di pintu tentu akan menghambat keluar masuk orang dari dan ke luar rumah)

80. Paham waham mambaok lalai, faham mati mangunyah bangkai
(Ragu membawa kelalaian, cemburu buta merugikan diri sendiri)

81. Elok nan tidak mangalua, gadang nan indak mangatangah
(Orang yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya dalam suatu forum)

82. Gadang buayo di muaro, gadang garundang di kubangan
(Setiap orang akan berkuasa di lingkungan dan bidangnya masing-masing)

83. Gadang sendok tak mambao, gadang suok tak manganyang, gadang antak indak lalu
(Orang yang besar bicara, takabur dan sombong. Orang yang demikian biasanya tak sebesar apa yang dikatakannya)

84. Gadang tungkuih tak barisi, gadang galogok tak bamalu
(Seseorang yang berkelakuan sombong dan angkuh, tak memiliki rasa malu)

85. Galogok kuciang ka naiak, bak mancik palajang atah
(Seseorang yang tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan, sehingga hasilnya sangat mengecewakan)

86. Hawa nan pantang karandahan, nafasu nan pantang kakurangan
(Sifat manusia yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu)

87. Hari baiak dibuang-buang, hari buruak dipagunokan
(Waktu yang renggang tak dimanfaatkan sebaik mungkin. Di saat kasip tergopoh-gopoh sehingga hasil yang didapat tak maksimal)

88. Hilang raso jo pareso, habih malo jo sopan, hewan nan babantuak manusia
(Kalau etika sopan santun telah lenyap dari seseorang maka pantaslah ia disebut hewan dalam wujud manusia)

89. Hujan batu di kampuang kito, hujan ameh di kampuang urang, walau samisikin-miskin awak, bacinto juo badan nak pulang
(Kecintaan seseorang kepada kampung halaman. Meski senang di rantau orang namun kampung teringat juga)

90. Gadang agiah baonggok, ketek agiah bacacah
(Setiap pembagian "sesuatu" hendaklah disesuaikan dengan hasil yang diperoleh)

91. Gayuang basambuik, kato biaso bajawek, imbau tantu basahuti
(Kebaikan akan berbalas dengan kebaikan pula)

92. Gabak di hulu tando kahujan, cewang di langik tando kapaneh
(Pertanda yang menunjukkan akan datang sesuatu hal; biasanya tentang hal-hal buruk)

93. Garuih tak namuah hilang walau luko lah cegak bana
(Suatu keburukan yang dibuat seseorang yang sulit dilupakan oleh orang banyak)

94. Geleang kapalo bak sipatuang inggok, lonjak bak labu dibanam
(Seseorang yang segala sok; sok pintar, sok tampan/cantik, sok kaya)

95. Gadang maimpok, panjang malindeh, laweh nak manyawok
(Sifat penguasa yang ingin memperbudak orang lain dalam segala hal)

96. Arok di buruang tabang, punai di tangan dilapehkan
(Seseorang yang mengharapkan sesuatu yang belum tentu didapatnya, tetapi dia telah membuang apa yang dimilikinya)

97. Hari sahari diparampek, hari samalam dipatigo
(Orang yang pandai mempergunakan waktu seefektif mungkin)

98. Hutang lansai dek babaia, ketek hutang dek angsuran
(Kewajiban harus dipenuhi. Jika tak dapat dipenuhi sekaligus boleh diangsur)

99. Hulu baiak pandai batenggang, hulu malang salah galogok
(Anda akan bahagia kalau pandai bertenggang dalam hidup, tetapi bahaya mudah terjadi kalau tidak mempunyai perhitungan)

100. Aniang saribu aka, pikia palito hati
(Orang yang tenang dalam menghadapi kesulitan akan dapat mengatasi kesulitan tersebut)

Luhak Nan Tigo "Agiah Taruih"

Rumah Adat Minangkabau, Sumatera Barat
PARTAMO, LUHAK NAN TUO; LAMBANG KUCIANG, WARNA BENDERA KUNIANG. Adopun kuciang adolah binatang lihai, tinggi pangaruah jo berwibawa. Bandera kuniang tando kamanangan. Takaik tujuannyo, urang cadiak adi kuasa, sumber ilmu pangatahuan, "Sains Teknologi" kato rang kini.

KADUO, LUHAK NAN TANGAH; WARNA SIRAH, HARIMAU CAMPO.
Adopun filosofinyo barani karano bana, hukum nan tidak makan bandiang banamo parentah "syarak".
"Calak alah tajampun ado tingga baa manyampaikan
Adaik alah syarak-pun ado tingga dek awak mamakaikan" (moral jo spiritual)

KATIGO, LUHAK NAN BUNGSU; CORAK HITAM, LAMBANG KAMBIANG.
Rila jo saba bausao, rumpuik nan indak pantang daun, dek padi mangko manjadi, dek ameh mangkonyo kameh. Mangecek iyo jo pitih, bajalan tantu jo kain, karajo tantu jo nasi

Kok ingin samparono, manjadi urang baharago, sajundun jasmani jo rohani, dunia dapek akhirat buliah, mako sarekkan kapalo jo pangatahuan, panuahkan dado jo agamo, gasaklah paruik jo harato


 
>> Dikutip dari "Pitaruah Ayah oleh Yus Dt. Parpatiah"

Pahlawan "Agiah Taruih"

Ilustrasi

“DALAM HIDUP KITA TAK BISA MENGHARAPKAN SESEORANG DATANG, KEMUDIAN membereskan segala masalah yang kita tanggung. Dalam hidup hanya diri sendirilah yang bisa diandalkan. Pahlawan yang paling masuk akal adalah diri sendiri”

Kutipan frasa di atas pantas diinjeksi ke pembuluh otak, dihujamkan ke sanubari, dan kemudian biarkan mengalir bersama darah agar terlahir berupa perlawanan terhadap kebutuhan akan sesosok yang dapat mengubah nasib dari “fakir” menjadi “bankir”, dari “dhuafa” menjadi ber-“harta”. Dahaga tak akan hilang meski disuguhi triliun-an galon air laut namun cukup dengan setitik embun bening yang tawar dan menyegarkan.

Disorientasi “merubah nasib” adalah saat kita berpikir bahwa seseorang datang dalam kehidupan kemudian membaca mantra penyembuh “sim salabim abrakadabra” layaknya Jin Aladdin yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Seketika menyulap gubuk menjadi “cluster” yang nyaman dan sejuk, atau tiba-tiba menukar “sepeda unto” menjadi benda berdimensi aerodinamis lengkap dengan rangkaian besi berpemutar, atau makanan dan minuman maha lezat bin “maknyuss” ala Pak Bondan. Yang lebih ekstrim lagi kita memohon kepada Tuhan agar diberikan “rimah-rimah” surga tanpa berbuat suatu apapun, O.. M.. G.., plis deh! Roda kehidupan memang berputar, bung, namun hanya untuk pribadi-pribadi yang tangguh dan berani menggerakkan. Bagi anda yang statis beli saja “kwaci” seraya berharap mendapati berlian dalam bungkusnya, atau belajar jadi penembak jitu deretan angka “togel” bin “BeTe”. Sungguh perilaku yang absurd

“Kenapa harus berhenti bermimpi di saat bangun tidur?”. Berkacalah pada kenyataan, bahwa tak seorangpun yang dapat menghentikan maupun mengantarkan anda untuk meraih sukses kecuali diri sendiri. Mari saya perjelas kata “pahlawan” dalam tulisan ini. Arti kata “pahlawan” menurut kamus ilmiah populer (baru saja saya baca) adalah orang yang menonjol karena keberaniannya, pengorbanannya dalam membela kebenaran, berkualitas bagi bangsa, negara maupun agama. Sedangkan “pahlawan” menurut versi saya mengalami sedikit distorsi karena ia bersifat eksklusifitas atas landasan pemikiran: “bahwa tak seorangpun berencana atau punya cita-cita untuk menjadi pahlawan. Seseorang hanya melakukan apa yang harus dan perlu dilakukan tanpa berpikir keuntungan materi, yang ternyata pada kemudian hari memberi kontribusi serta mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas” that it's!

“Pahlawan itu pemimpin, pemimpin belum tentu pahlawan”. Apa ada pemimpin ideal?
-          Pemimpin ideal itu tidak korupsi
-          Pemimpin ideal itu tidak egois
-          Pemimpin ideal itu tidak bergelimang harta
-          Pemimpin ideal itu tidak antipati
-      dan, Pemimpin ideal itu tidak pernah ada (setelah era Rasulullah SAW, *ini menurut saya lo)


Di negara Indonesia yang sangat kita cintai ini figur pemimpin ideal hanya sebuah “imajinatif impulsif” dalam arti kita merindukan pemimpin ideal tatkala dihadapkan pada persoalan rumit terlebih menyangkut urusan perut, nafsu akan harta benda dan lain sebagainya yang bersifat hedonis. Apa pernah persoalan moralitas menjadi acuan utama dalam mencari figur pemimpin? (terutama dalam penyelenggaraan pilkada). Apa pernah berpikir, merenung, untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin? – Tidak, saya, anda, dan beberapa orang lainnya tersandera oleh pilihan-pilihan yang terbaik di antara figur yang kurang (tidak) baik.

Apa kita memilih yang terbaik di antara yang kurang (tidak) baik? Ya, sistem politik Indonesia menyandera kita untuk menerima perjodohan tanpa proses tawar menawar. Bahwasanya, setiap partai politik (yang memenuhi aturan Electoral Treshold) memiliki figur calon pemimpin masing-masing untuk disabung pada saat pemilu/kada. Seandainya proses, mekanisme seleksi bakal calon menurut garis partai terbuka dan jelas, sudah barang tentu kita beroleh figur dengan integritas tinggi. Bagaimana bila tidak? Karena tak sedikit partai yang terpaksa jual diri dengan meminta uang dukungan untuk bakal calon yang tak jelas rekam jejaknya.

“Dalam politik, kebetulan itu adalah barang langka. Politik selalu memiliki tujuan, siasat, dan berkelindan dengan pelbagai kepentingan. Nyaris tak ada kebetulan dalam ranah politik. Itu sebabnya orang sulit percaya jika para pelaku suap berdalih dengan pelbagai macam alasan"

Syukur alhamdulillah jika pada kemudian hari pemimpin yang terpilih ibarat buah ranum nan sangat manis laksana madu hutan, bagai sebuah oase, telaga tenang yang dapat melepas rasa dahaga. Tapi, bagaimana jika berbuah busuk lagi pahit? Naudzubillahiminzalik – mati kita dibuatnya.

Apa anda masih berharap pemimpin menjadi pahlawan dalam hidup dan kehidupan? Menurut saya yang teramat pintar ini; saya dan anda adalah pahlawan sesungguhnya bagi diri sendiri, dan itu lebih tangible ketimbang “superhero” bersayap Malaikat yang entah kapan datangnya?.


>> Salam paniang dari Jawa